Selasa, 06 Mei 2008

PROFIL SAYA

GELAR PUNCAK, PROFESOR TERMUDA

Usianya baru menginjak kepala tiga. Namun dalam umur relatif muda itu Wijaya Kusuma mampu mengukuhkan diri sebagi guru besar termuda di Bali.Lelaki muda itu tampak mondar-mandir di lantai dua gedung Global Development Learning Network (GDLN) Universitas Udayana, suatu sore, pertengahan November lalu. Tatapannnya tertuju pada perangkat komputer di atas meja. Sesekali tangannya menjentik mouse, memastikan kesiapan program komputer yang awal Desember ini akan digunakan sebagai sarana belajar mengajar jarak jauh.Pertama bersua dengan lelaki bernama lengkap Prof Dr IGB Wijaya Kusuma ini bisa jadi orang tidak percaya, betapa dia telah bergelar profesor, menjadi guru besar Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Denpasar. Ia begitu muda, sederhana, dan tampak “biasa-biasa saja”. Apalagi ketika membeberkan identitas dirinya. “Usia saya baru 34 tahun,” jelas pria yang sejak SD bercita-cita menjadi sarjana teknik elektro, tapi malah berlabuh di teknik mesin ini. Tamat dari SMA Negeri Singaraja tahun 1998, beberapa temannya di Jurusan Fisika mengajak Wijaya Kusuma ikut mendaftar di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya. Dia pun memantapkan langkah merengkuh pendidikan di Kota Buaya itu. Di sini, jurusan teknik elektro yang digemari sejak SD belum dibuka. “Daripada pulang ke Bali, akhirnya saya pilih saja teknik mesin, seperti teman lain,” kenangnya. Di situ dia mengail ilmu mekanik. Otaknya yang cemerlang tak terlalu menyulitkan dirinya menyerap tahap demi tahap ilmu yang diajarkan para dosen ITS. Baik dari sisi teori maupun dalam bidang praktikum. Rentang empat tahun kemudian (1992) dia diwisuda sarjana sebagai lulusan terbaik di antara ratusan wisudawan lain dari berbagai daerah di Tanah Air. Prestasi gemilang putra Bali ini menyita perhatian kalangan kampus setempat. Wijaya Kusuma ditawari menjadi staf pengajar di almamaternya. Namun, sebagaimana lazimnya kebanyakan putra Bali, dia malah ingin segera pulang ke Bali. Tahun itu pula dia melamar sebagai dosen di Fakultas Teknik, Universitas Udayana, dan diterima. “Di sini saya mentransfer ilmu yang diperoleh di ITS dulu,” kilahnya. Saat mengajar dia kerap mengingatkan generasi muda, terutama orang-orang Bali, agar jangan sampai ketinggalan dalam teknologi, bila tak ingin tersisih di tanah kelahiran sendiri. Praktikum ia perbanyak, teori tak lebih daripada 30 persen. “Orang Bali itu pintar-pintar. Cuma kesempatan dan kemauan berkembang mereka kurang, mungkin pengaruh lingkungan,” terkanya.Seraya mengajar, Wijaya Kusuma sibuk menggelar berbagai percobaan. Antara lain, mengolah minyak goreng bekas (jelantah) menjadi bahan bakar alternatif untuk mesin diesel, disebut biodiesel. Dia juga membuat alat pengering. Sayang, hasil karyanya ini tak menyebar ke masyarakat, hanya dipergunakan sebatas sebagai pengetahuan sendiri. Paling jauh dikenal beberapa temannya di kampus.Kesibukan menunaikan tugas di kampus menjadikan lelaki asli Pangastulan, Buleleng, kelahiran 7 Juni 1970 ini, tak sempat melanjutkan studi pascasarjana. Itu membikin bekas dosennya di ITS saat berkunjung ke Unud tahun 1994 menyindir, andai saja tawaran menjadi dosen di ITS diterima, tentu saja dia sudah bergelar magister, seperti teman seangkatannya di ITS. Wijaya Kusuma merasa jengah. “Pada waktunya saya pasti memperoleh gelar tersebut,” tepisnya, santun.Janji diri itu pun ditepati. Dia menamatkan program magister (S2) lalu doktor (S3) Jurusan Mekanika di Brunel University, London, tahun 1999. “Saya yakin hidup di dunia ini sudah ada mengatur, kita harus tekun menjalani tahap demi tahap,” tandasnya. Keyakinan itu memang memantapkan langkah Wijaya Kusuma. Sepulang dari London dengan gelar doktor dia pun kembali ke Unud. Hari-harinya diisi dengan kerutinan pengajar mahasiswa, praktikum, sesekali memberi ceramah ke beberapa kalangan. Pada suatu hari, dia menghitung-hitung kredit poin atau cume dari berbagai kegiatan itu. Ternyata sudah melebihi angka seribu. “Itu mendorong saya berani mengajukan diri meraih gelar profesor,” ujarnya, penuh yakin. Langkah staf pengajar Program Studi Mekanika Elektronika, Jurusan Mesin, Fakultas Teknik Unud ini, tak sia-sia. Jabatan guru besarnya dikukuhkan Juli 2004 lalu. Tak pelak, ayah dua anak ini menjadi guru besar termuda di Bali. Toh, dia merasa tidak istimewa, melainkan biasa-biasa saja. “Siapa pun bisa meraih, seperti saya, tergantung kesempatan. Kebetulan Tuhan kali ini memberikan saya kesempatan itu,” urai dosen yang juga ahli energi ini. Bagi Wijaya Kusuma, lebih penting dari gelar-gelar akademik formal itu adalah kepedulian dan kepekaan terhadap persoalan nyata di dunia akademik maupun di luar lingkungan akademik. Di sisi inilah dia mengaku terusik mencermati polemik perihal kemandirian energi listrik bagi Bali. Dan, sebagai ahli di bidang ini, dia punya pandangan lain berkaitan dengan kemandirian energi listrik. Bagi Wijaya Kusuma, andai Bali memang perlu penambahan energi listrik semestinya tak hanya berpikir membuat pembangkit energi listrik sendiri. Mestinya itu menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, dan pemerintah daerah Bali wajib mengajukan penambahan ke pusat. “Itu bila Bali ini masih menjadi bagian Indonesia,” beber putra pasangan Gusti Ngurah Suwandi dan MK Padmi ini. Bila Bali sudah mengajukan ke Pusat, lantas tak jua ada tanggapan, barulah berpikir memenuhi kekurangan tersebut. Dalam hitung-hitungan sederhananya, keperluan listrik masyarakat Bali sejatinya tak teramat banyak. Satu keluarga paling banyak 1.300 watt. Jika jumlah penduduk di Bali sebanyak 3.200.000 jiwa dan dalam satu KK rata-rata beranggotakan lima orang, maka di Bali memiliki 640.000 KK. Andaikan satu KK maksimum mempergunakan 1.300 watt, maka di Bali diperlukan sekitar 832.000 kilowatt. Angka 1.300 watt setiap KK itu sudah bisa dipergunakan untuk AC, kulkas, setrika, memasak, tv, komputer, dan lain-lain. Sedangkan dari 1.300 watt yang tersedia paling banyak dipergunakan 1.000 watt. Bila ini dibagi lima, berarti tiap orang di Bali memerlukan listrik 200 watt. Relatif kecil, memang. “Kan tak mungkin dalam waktu bersamaan semua peralatan hidup. Seorang ibu yang memasak tak mungkin sambil menghidupkan komputer, menonton tv, terkecuali sengaja ingin boros,” dia terkekeh. Pihak yang besar memerlukan listrik biasanya justru di luar keperluan rumah tangga, seperti perusahaan, kantor pemerintahan, dan di jalan raya. Penggunaan jatah 1.300 watt dalam hitungan dia, pada saat jam kerja paling banter digunakan 200 watt. Toh, pihak swasta bisa dibiasakan untuk menyediakan genzet. “Jika pun ada kekhawatiran terhadap keamanan kabel bawah laut Jawa-Bali, dicemaskan akan putus, kenapa tidak bikin yang permanen? Kita harus berpikir sebagai satu negara kesatuan, termasuk soal pemenuhan tenaga listrik,” kelit suami Ida Ayu Eka Wilawati ini. Bagi Wijaya Kusuma, upaya memandirikan energi listrik di Bali sepatutnya justru dimulai dari usaha penghematan listrik, mulai dari basis keluarga, ke kantor-kantor, maupun di perusahaan-perusahaan. “Tiap perusahaan besar, seperti hotel atau pabrik, diwajibkan menyediakan energi listrik sendiri, lewat genzet, misalkan. Jangan semua dibebankan kepada pemerintah. Dengan demikian keamanan persediaan listrik pasti ada,” tegasnya berulang-ulang. Jika kemandirian energi, terutama listrik, di Bali memang mesti dijawab dengan membangun pembangkit energi baru, sebenarnya ada pilihan potensial lain, dengan biaya tak terlalu besar. Itulah pembangkit listrik energi panas surya (matahari). “Apalagi di Bali termasuk daerah tropis, matahari bersinar sepanjang tahun,” usulnya. Di kalangan ahli energi memang disepakati, energi panas bumi (geothermal) itu merupakan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Ketersediaannya juga terbilang terbarukan terus-menerus, sebagaimana juga energi surya dan energi angin. Indonesia sebagai kawasan pegunungan dan perbukitan memendam potensi 40 persen energi panas bumi dunia, dan Bali sendiri diperkirakan punya potensi sampai 400 megawatt. Persoalan krusial terletak pada kawasan hutan lindung maupun cagar alam. Di titik itu, pertimbangan cermat terhadap dampak lingkungan memang mesti dilakukan secara mendalam dan holistik. Maka energi surya pun patut dipertimbangkan pula. Di Bali, dalam cermatan Wijaya Kusuma, pembangkit listrik tenaga surya ini bisa saja diletakkan di kawasan Gunaksa, Klungkung, atau dekat Pantai Tulamben, Karangasem. “Guna menghasilkan 400 megawatt diperlukan biaya sekitar Rp 3 triliun. Cuma harus ada orang yang siap mengoperasikan, dan keamanan mesti ketat, sehingga alat-alat penyerap energi panas matahari terhindar dari perusakan manusia,” sarannya. Ada banyak jalan, sesungguhnya, menjamin kemandirian energi listri Bali. Langkah paling mudah dan kunci, ingat Wijaya Kusuma, “Justru kebiasaan hidup hemat energi setiap orang yang hidup di Bali.” Inilah tampaknya jalan paling mudah sekaligus tersulit diwujudkan di tengah masyarakat yang cenderung ngulurin indria, kini.

5 komentar:

Agus Wirawan mengatakan...

Keep your great spirit Prof ...
Keep the best for Bali

gustra mengatakan...

Agus Wirawan, ngga usah heboh deh
orang akan hebat kalo kepandaiannya di dampingi juga oleh kecerdasan emotional dan kecerdasan spiritual...,attitude yang baik,utk hal ini, profesor yg satu ini perlu diuji/dipertanyakan lagi !
instropeksi !

Unknown mengatakan...

Gustra ,,, maksud anda apa nih ?? kok bicara hal professor ?? bukan beli gelar ya boss.. kamu kok sewot ya ?? mau ketemuan saya ?? cari masalah orang ini .. saya adiknya .. mau apa anda ??

Putut mengatakan...

Muantaaaaaps teman saya satu ini. Saya saksi kalau beliau mmg cemerlang sejak kuliah S1 di ITS. Sempat bareng awal2 semester, tau2 menghilang. Ternyata udah lulus ����

Putut mengatakan...

Muantaaaaaps teman saya satu ini. Saya saksi kalau beliau mmg cemerlang sejak kuliah S1 di ITS. Sempat bareng awal2 semester, tau2 menghilang. Ternyata udah lulus 😆💪